13/11/2010

Cerpen Selamat Jalan Ayahku

ini cerpen aku bikin buat tugas bahasa indonesia, agak ngenes, bahasanya lumayan baku, namanya juga buat tugas
cuma iseng aja aku masukin, hehe

SELAMAT JALAN AYAHKU

Lulus SMP, sudah tiba saatnya menentukan SMA mana yang tepat untukku. Ayahku menyuruhku untuk masuk SMAN 10 yang berasrama. Sekolah berasrama, sekolah yang pastinya sarat dengan aneka peraturan yang membuat siswanya menjadi tidak bebas untuk melakukan apa pun. Aku membantah, aku adalah anak yang sama sekali tidak suka diatur.
“Ayah, aku gak mau masuk SMAN 10, aku mau masuk ke SMA yang biasa-biasa aja”, sambil merengek aku mencoba membujuk ayahku untuk tidak memasukkanku ke SMA itu. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, ayah sudah memantapkan keputusannya, “Hahaha, kamu takut tinggal jauh dari orang tua?”
“Bukan gitu yah, sekolah di sekolah berasrama kayak gitu gak bebas yah, banyak peraturan. Ayah kan tau kalo aku paling gak suka kalo diatur-atur begitu?”, ujarku memberikan alasan pada ayahku. Sambil tersenyum ayahku menjawab, “Justru itu kenapa ayah mau kamu masuk situ, supaya kamu bisa bersikap lebih dewasa dan gak kayak anak kecil terus”.
“Tapi yah”, belum selesai aku bicara ayah memotong, “Udah, sekarang udah larut malam, ayo cepat kamu tidur, nanti kamu bangun kesiangan. Besok kan kita mau ngurus semua keperluanmu buat masuk ke sana”, ayah begitu bersemangat, baru kali ini aku melihat semangat luar biasa dari ayah. Sebagai anak, aku tidak mau membuat semangatnya hilang, akhirnya aku pun menyetujui untuk masuk ke sekolah itu. “Iya yah, aku tidur dulu”.
Setelah melalui beberapa tes dan berakhir dengan saat dimana pengumuman penerimaan siswa baru telah tiba, ayah langsung mengecek website sekolah itu dan mencari-cari namaku di daftar siswa baru yang diterima. Bagitu melihat namaku, wajah ayah berubah menjadi begitu gembira. Aku sangat tidak menyetujui hasil ini, aku tidak mau masuk ke sana.. Setelah cukup banyak keberanianku terkumpul, aku pun memberitahu ayahku bahwa aku tidak menyetujui hasil ini. “Ayah, aku bener-bener gak mau masuk ke sekolah itu”. Dengan tatapan yang begitu tenang ayah menjawab, “Kamu tetap bisa bebas nak, kamu juga tetap bisa merasakan masa remaja yang indah di sana. Percaya sama ayah, kamu pasti akan punya banyak teman yang baik karena teman-teman terbaik biasanya ditemukan di sekolah-sekolah berasrama seperti itu”. Aku tidak mau mengecewakan ayah dan membuatnya sedih. Aku pun mencoba untuk menuruti kata-katanya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku mau membahagiakan ayahku
2 tahun kemudian,
Sudah 2 tahun aku bersekolah di sana, akhirnya aku dapat menyadari kebenaran kata-kata ayah. Aku punya banyak teman di SMAN 10, aku juga sangat betah tinggal di sana. Meskipun ada banyak sekali peraturan dan kegiatan yang harus dilakukan di asrama dan di sekolah, tapi karena dilakukan bersama-sama dengan teman-teman baikku semua terasa begitu ringan dan menyenangkan. Ayah tidak salah pilih, meskipun sekolah itu tidak membebaskan siswanya keluar masuk asrama, semua hal-hal luar biasa bisa ditemukan di sana tanpa disadari. Aku bersyukur punya ayah seperti ayah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Tidak ingin mengecewakan ayahku, aku berusaha untuk selalu mendapatkan nilai baik di sekolah. Aku tidak ingin membuat ayah malu hanya karena nilai-nilaiku yang jelek. Aku juga giat megikuti berbagai macam perlombaan akademis maupun non akademis untuk meraih prestasi sebanyak-banyaknya dan membuat ayahku bangga. Hanya satu tujuanku, membuat ayahku bahagia.
Suatu saat, aku diberi kepercayaan oleh sekolah untuk mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat tingkat SMA se-provinsi. Aku sangat bersedia, aku mau menunjukkan kemampuanku kepada ayahku. Aku memberitahu ayah tentang lomba itu, ayah sangat antusias. Ayah berjanji akan datang untuk menontonku di lomba itu di sela-sela pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah yang bisa dibilang sangat sibuk.
Akhirnya saat dimana lomba cerdas cermat se-provinsi itu tiba, aku mengikutinya bersama kedua temanku. Tanpa melalui banyak rintangan berat, kami berhasil memenangkannya. Kami berhasil meraih juara 1. Aku sangat senang, tapi aku kecewa karena ayah tidak bisa datang menontonku karena tiba-tiba ayah mendapat pekerjaan dadakan yang harus segera ia kerjakan. Aku tidak boleh egois, aku harus sadar bahwa ayah harus bekerja.
Lomba cerdas cermat se-provinsi telah usai, sekarang dilanjutkan dengan lomba cerdas cermat tingkat SMA se-Indonesia. Sebagai juara 1 lomba cerdas cermat se-provinsi, aku dan kedua temanku berkesempatan untuk mewakili provinsiku dalam lomba cerdas cermat tingkat SMA se-Indonesia yang akan diadakan di ibukota.
Aku pun memberitahu ayah tentang kabar menyenangkan ini, ayah sangat senang dan bangga padaku. Ayah berjanji akan datang kali ini, ia tidak ingin membuat kesalahan yang sama dan mengecewakanku lagi. Tapi ayah bilang ia mungkin akan datang terlambat karena ia harus menyelesaikan tugasnya sebelum berangkat ke ibukota untuk menonton lomba yang kuikuti. Ia ingin menemaniku merayakan masa-masa keberhasilanku.
Setelah saat dimana lomba cerdas cermat itu tiba, aku dan dua orang temanku yang lain telah siap untuk menghadapinya, menghadapi lawan-lawan dari SMA provinsi lain yang mungkin jauh lebih cerdas dibanding aku dan kedua temanku. Di sela-sela waktu persiapan menjelang lomba dimulai aku mencari-cari ayahku di antara deretan tempat duduk penonton untuk sekadar melihat wajahnya yang menenangkan. Tapi aku tidak menemukan ayah, mungkin ayah masih dalam perjalanan menuju ibukota. Aku mengalihkan perhatianku kepada kedua temanku dan melanjutkan persiapan kami.
Lomba telah dimulai, ayah juga tak kunjung datang. Aku jadi gelisah dan tidak konsentrasi, aku jadi teringat kata-kata ayah dulu sewaktu aku kecil, “Sebesar apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, jangan pikirkan, terus lanjutkan apa yang seharusnya kamu lakukan dan buang semua pikiran jelekmu”. Aku harus semangat, aku tidak boleh egois untuk memaksa ayah untuk segera berada di sini sementara pekerjaannya begitu padat dan tidak bisa ditinggal. Aku pun berdoa pada Tuhan untuk membantuku dalam lomba ini dan memberikan yang terbaik untukku demi ayahku.
Lomba itu pun berjalan lancar, aku dan kedua temanku bisa menjawab banyak pertanyaan dengan baik. Setelah melalui beberapa sesi, akhirnya kami masuk ke tahap final. Cukup sulit untuk menghadapi lawan dari ibukota. Tapi karena semangatku dan kedua temanku yang begitu tinggi akhirnya kami berhasil mengalahkan mereka, walaupun dengan poin yang bedanya sangat tipis. Mungkin kali ini keberuntungan sedang berada di pihak kami.
Dengan bangga, aku dan kedua temanku menerima piala juara 1 lomba cerdas cermat tingkat SMA se-Indonesia itu. Baru kali ini aku merasakan kebahagiaan seluar biasa ini. Di sela-sela kebahagiaanku aku kembali mencari-cari ayah di kerumunan penonton yang ikut merayakan kemenangan kami yang meriah. Aku pun terdiam, semangatku menjadi agak pudar karena tidak menemukan ayahku.
Tak lama kemudian, guru pembimbingku naik ke atas panggunng saat kami sedang merayakan kemenangan kami. Dengan wajah pucat, ia mengulurkan telepon genggamnya padaku. Aku bingung, aku tidak mengerti apa maksud guruku itu. Lalu ia berkata, “Nak, ini ada telepon dari asuransi jiwa ayahmu”. Dengan keheranan yang teramat sangat aku meraih telepon genggam itu dan menempelkannya ke telingaku. “Halo?”, suara orang yang mengaku berasal dari asuransi jiwa ayahku. “Ini benar anak dari bapak Heri Sutanto?”, ia melanjutkan kata-katanya walaupun aku belum menjawab. “Iya, benar. Ada apa ya?”, seruku kebingungan. “Kami ingin memberitahukan bahwa ayah adik baru saja mengalami kecelakaan pesawat, pesawat yang ditumpanginya meledak di udara saat sedang berada di atas perairan laut Jawa, semua penumpang yang ada di pesawat itu dinyatakan meninggal”. Aku sangat kaget mendengar perkataan orang itu, aku sungguh tidak percaya perkataannya. “Mas, ngomong apa sih? Gak lucu tau!”, aku menjawabnya sambil berteriak. “Tapi dik, saya serius. Kami memberitahu adik karena bapak Heri sedang dalam perjalanan ke ibukota untuk menemui adik sebelum akhirnya mengalami kecelakaan mengenaskan ini. Saya turut berduka cita, adik”. Tanganku menjadi lemas seketika, aku jadi tidak memiliki kekuatan untuk memegang telepon genggam itu dan akhirnya menjatuhkannya. Dengan pucat, aku juga melepaskan piala yang sedang kupegang. Piala itu pun seketika hancur saat menyentuh lantai. Aku membuat suasana di tempat lomba menjadi tegang. Kedua temanku sangat kaget, hingga mereka menyadari apa yang terjadi, mereka segera menenangkanku. Aku tidak berkutik, aku duduk diam terpaku dan menangis meraung-raung. Ayahku telah meninggalkanku tanpa meminta izinku terkebih dulu. Bahkan dia belum menyaksikan keberhasilanku memenangkan lomba cerdas cermat se-Indonesia itu.
Akhirnya aku pulang kembali ke kotaku. Hidupku terasa begitu suram tanpa ayah, ayah yang selalu menyemangati hari-hariku, kini telah pergi meninggalkanku. Aku tidak boleh lemah, ayah selalu mengingatkanku untuk tidak menyerah walaupun masalah seberat apa pun menimpaku, tidak ada cobaan yang tidak bisa diatasi, karena Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan melampaui batas kemampuan hamba-Nya. Aku harus terbiasa hidup tanpa ayah, aku harus bisa buktikan pada ayah bahwa aku adalah anak yang kuat.
Dengan kepergian ayah, aku menjadi lebih dewasa daripada sebelumnya. Aku jadi bisa melakukan banyak hal sendiri. Aku jadi anak yang mandiri. Mungkin inilah pelajaran yang ingin diberikan ayahku dengan kepergiannya. Aku sangat bangga memilika ayah sepertimu, selamat jalan ayahku!

No comments:

Cute Spinning Flower Red